Rabu, 15 Juli 2009

Gagal Jantung Pada Penderita Infark Miokard Dengan TAV

Tinjauan Kepustakaan

Gagal Jantung Pada Penderita Infark Miokard Dengan TAV
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala BPK RSU Dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh


Oleh:
Tita Menawati . L
0371150076


BAGIAN/ SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BPK RSU DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2008

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Ketika masih sedikit pemeriksaan jantung yang tersedia, definisi gagal jantung cenderung ke arah patofisiologi, lalu kemudian definisi ditempatkan pada penekanan pada gaga jantung sebagai suatu diagnosis klinis. Sementara kondisi ini memang merupakan suatu sindrom klinis, diagnosis dapat sulit ditegakkan pada tahap dini karena karena relatif tidak ada gejala.
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia ( 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut.
Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.
Infark miokard yang mengenai endokardium sampai epikardium disebut infark transmural, namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Hali ini kadang-kadang belum selesai karena daerah sekitar infark masih dalam bahaya bila proses iskemia masih berlanjut.
Miokard ventrikel kiri dan kanan dapat menghasilkan curah jantung antara 5 dan 20 L/men tergantung kondisi fisiologis, dan kontraksi tergantung pada sel jantung yang sangat khusus yaitu miosit

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal. Dengan perkataan lain, gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (forward failure), atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.5
Angka kematian akibat gagal jantung cukup tinggi terutama pada usia lebih dari 65 tahun. Selain itu, pasien gagal jantung secara otomatis akan mendapatkan beban ekonomi yang makin tinggi seiring dengan akibat hendaya (inability) kronik yang dialaminya. Gagal jantung sebenarnya terdiri dari beberapa jenis seperti gagal jantung sistolik, gagal jantung diastolik, akut, atau kronik. Jenis tersebut dahulu lebih banyak dideteksi dengan menggunakan tes dengar, anamnesis dan pemeriksaan fisik.Seiring waktu dengan makin tingginya teknologi, pemeriksaan gagal jantung kini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu berteknologi tinggi, seperti ecocardiograph, photo thorax, EKG, dan kateter Swan Ganz, dan menilai profil klinis yakni kongesti dan perfusi yang disebut metode wet and cold (nohria).
Pencegahan
Deteksi dini jenis gagal jantung yang diderita pasien ini, menurut Daulat, berfungsi sebagai dasar penentuan penatalaksanaan atau pengobatan penyakit jantung. Karena masing-masing jenis harus ditangani dengan cara yang berbeda hingga bisa lebih efektif hasilnya. Misalnya, untuk pengobatan atau penatalaksanaan gagal jantung jenis akut yang tergolong mematikan, yang paling efektif digunakan adalah dengan pemantauan hemodinamis. Selain itu, kini penatalaksanaan gagal jantung akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kadar brain natriuretic peptide (BNP) darah yang dibutuhkan pada pasien gagal jantung.
BNP merupakan hasil produksi jaringan otot jantung yang bila ventrike kiri teregang, yang berefek positif memperbaiki gangguan hemodinamik yang bisa mengakibatkan vasodilator, meningkatkan diuresis, dan lainnya. Pada pasien gagal jantung, kadar BNP ini masih terus diperlukan, meskipun levelnya sudah normal. Karena itu, selain obat-obatan jenis inhibitor ACE, penyekat beta, diuretik, dan lainnya, juga diperlukan jenis obat penunjang yang mampu meningkatkan kadar BNP dalam tubuh. Jika obat-obatan sudah tidak lagi efektif, maka pasien memerlukan alat bantu seperti IABP (intra aortic balloon pump), biventricular pacing (RCT/resynchronization cardiac therapy), ICD (implantable cardioverter device), atau kombinasi RCT dan ICD (RCT-D).
Di beberapa negara maju, jika kondisi gagal jantung makin memburuk, maka dilakukan articificial heart atau ventricular assist device untuk membantu fungsi jantung sebelum dilakukan tranplantasi jantung, dengan memperhatikan efektivitas biaya. Upaya pencegahan gagal jantung akut ini sebenarnya sangatlah mudah. Yang terpenting adalah menjaga pola hidup sehat. Selain itu, diperlukan pemeriksaan medis secara rutin untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesehatan tubuh Anda. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa risiko gagal jantung bisa turun sebanyak 25% dengan berhenti merokok, menjaga kolesterol seimbang, dan minum aspirin sebesar 80 mg secara rutin.1,2
Sebagai pompa jantung bekerja tidak hanya atas kemampuan sendiri, tetapi bergantung pula pada berbagai faktor , sehingga ia dapat bekerja secara optimal. Faktor- faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan / menit), beban awal ( preload) dan beban akhir (afterload).6

2.2. Infark Miokard
Infark miokard merupakan nekrosis iskemik pada miokard akibat sumbatan akut pada arteri koroner.
Insidensi : Infark miokard sangat sering terjadi; 250.000 infark miokard (MI) per
tahun di Inggris ( satu kejadian tiap 2 menit); 100.000 kematian.
Patogenesis : Infark miokard terjadi bila arteri koroner tersumbat, miokard yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami iskemik dan dalam beberapa jam terjadi nekrosis; pemulihan aliran darah dengan cepat bisa mencegah infark dan membatasi nekrosis. Penyebab yang amat sering adalah penyakit jantung koroner ateromatosa, bila plak ateromatosa koroner ( tidak selalu yang sangat mempersempit lumen arteri) mengalami erupsi atau ruptur, terjadi penyebaran plak mendadak dan trombosis pada lumen arteri koroner. Penyebab Infark Miokard yang lain jarang terjadi. Pemantauan jangka panjang adanya Infark Miokard ditentukan terutama oleh luasnya kerusakan ventrikel kiri, dan beratnya penyakit jantung koroner yang mendasari. Sebagian besar kematian pasca infark miokard disebabkan oleh gagal jantung, serangan jantung mendadak, atau infark miokard lanjutan.5
Adapun manisfestasi klinis dari infark miokard adalah nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan menetap(lebih dari 30 menit), tidak sepenuhnya menghilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat menakutkan pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (bila disertai gagal jantung kongestif). Distensi vena jugularis umumnya terdapat pada infark ventrikel kanan.7
Jika aliran darah miokardium terganggu secara nyata maka akan terjadi kematian (infark) pada miokardium. Infark miokardium dapat berupa:
1. Infark subendokardial. Adalah infark yang tidak meliputi seluruh lapisan dinding jantung.
2. Infark transmural. Adalah infark miokardium yang meliputi seluruh ketebalan dinding ventrikel. Infark transmural lebih berat dibanding infark subendokardial. Infark transmural selalu berasala dari adanya peningkatan penyempitan atau oklusi total pembuluh arteri yang memperdarahi area tersebut atau peningkatan tiba-tiba kebutuhan oksigen miokardium pada arteri yang sebelumnya sangat stenostik. Sebagian besar infark miokardium transmural bersifat tidak homogen; tidak seluruh otot di area tersebut mati, tetapi masih terdapat pulau-pulau otot hidup dalam beberapa ukuran dan jumlah.
Proses sebenarnya dari infark miokard tidak sederhana. Dari percobaan dengan binatang; diketahui bahwa sel otot jantung akan mati dalam waktu 20-60 menit setelah oklusi total arteri koroner. Akan tetapi terdapat proses reperfusi yang segera terjadi 3-4 menit pasca oklusi total arteri terutama pada perbatasan daerah iskemik dan non-iskemik. Proses reperfusi ini menguntungkan oleh karena segera mengurangi dan melokalisasi area infark, serta menurunkan angka kematian. Di samping itu, reperfusi juga berdampak instabilitas elektrik, edema, atau hemorrahage, yang justru memperburuk keadaan secara umum.
Proses penyembuhan jaringan nekrotik dari area miokardium akan menimbulkan jaringan parut. Sebagian besar jaringan parut ini terdiri dari jaringan fibrotik dan sel-sel miokardium yang viabel dalam komposisi berbeda-beda. Hal ini terbukti dari adanya perubahan kontraktilitas area tersebut setelah dilakukan tindakan revaskularisasi. Bila area jaringan parut hanya terdiri dari jaringan ikat saja, maka daerah tersebut akan menipis, akinetik, dan aneurismatik.
Faktor yang mempengaruhi infark miokardium: adanya oklusi total atau subtotal, dan ada tidaknya peredaran kolateral ke daerah iskemia. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kematian (mortalitas) pasca infark:
Luas dan beratnya infark.
Makin banyaknya sistem koroner yang terlibat (1/2/3 vessels)
Riwayat infark sebelumnya.
Terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk terkena AMI, yaitu faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan tidak bisa dimodifikasi:


A. Fakor resiko yang dapat dimodifikasi:
1) Merokok. Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain: menimbulkan aterosklerosis; peningkatan trombogenessis dan vasokontriksi; peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali dibanding yang tidak merokok,
2) Konsumsi Alkohol. Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alcohol dosis rendah hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya masih controversial.
3) Hipertensi Sistemik. Ini menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak langsung akan meninggikan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen jantung,
4) Penyakit Diabetes. Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar 2- 4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan trombogenesis).

B. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi:

1) Usia. Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnnya setelah menopause).
2) Jenis Kelamin. Morbiditas akibat penyakit jantung koroner(PJK)pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protective pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause,
3) Riwayat Keluarga.Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelum usia 70 tahun merupakan factor resiko independent untuk terjadinya PJK.4

Penyebab kematian pasca infark terutama oleh karena gagal jantung akut atau sub-akut, yang seringkali diinduksi oleh adanya aritmia ventrikel. Gagal jantung kronik merupakan penyebab kematian lain dalam frekuensi yang jauh lebih sedikit yang terutama disebabkan oleh luasnya jaringan parut pada jantung. Sekitar 20% pasien CAD mengalami sudden death yang kemungkinan besar disebabkan oleh infark akut yang diikuti oleh fibrilasi atau asistol.3



2.3. Total AV Blok
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan penanganan segera. Blok AV derajat III terjadi jika tidak ada impuls atrium yang dihantarkan ke ventrikel berdenyut sendiri-sendiri (terdapat disosiasi atrioventrikel). Atrium berdenyut teratur mengikuti impuls yang berasal dari simpuls SA. Ventrikel juga berdenyut dengan teratur namun frekuensinya jauh lebih lambat dibandingkan atrium ( 20-60 x/ menit).
Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR yang bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total sering diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan kecepatan ventrikel biasanya > 50x/ menit.
Makna klinis dan prognosis blok AV bergantung pada penyebabnya. Blok AV akibat peningkatan rangsang vagus atau pada keracunan digitalis yang ditangani dengan baik, mempunyai prognosis yang cukup baik. Namun bila ditemukan perubahan mendadak dari irama sinus menjadi blok AV total (sindrom Adam-Stokes), prognosisnya menjadi serius, karena dapat mendatangkan kematian akibat henti jantung mendadak atau fibrilasi ventrikel.
Etiologi total AV blok selain kongenital bisa juga didapat. Kelainan-kelainan tersebut adalah : penyakit degeneratif sistem penghantaran (Lev's disease, Lenegre' disease), iskemi atau infark miokard, kardiomiopati dilatasi, keracunan obat karena digitalis, quinidin, fenotiazin, anti depresi trisiklik, penyakit katup jantung khususnya stenosis aorta dan insufisiensi aorta, kelainan miokard dan jaringan ikat (sarkodiosis, skeloderma, amiloidosis, SLE, penyakit tiroid) pembedahan, hiperkalemia dan diikuti anti aritmia, tumor jantung (baik primer maupun sekunder),dan Chagas'disease.
Diagnosis total AV blok biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Pada EKG dapat dijumpai frekuensi gelombang P tidak sama dengan kompleks QRS, bentuk kompleks QRS dapat normal (picu sekunder di AV junction) atau menyerupai bentuk denyut ektopik ventrikel (picu sekunder pada dinding ventrikel). Gelombang P sinus dan banyak , sementara kompleks QRS hanya ada beberapa. Adanya disosiasi AV dimana tidak adanya hubungan gelombang P dan kompleks QRS. Interval RR masih teratur. Irama atrial lebih cepat daripada irama ventrikel, irama ventrikel biasanya sangat lambat > 45 x/menit (pada yang kongenital 40-60x/menit). Pada kasus terlihat gambaran seperti tersebut dengan VR 31 x/ menit.11 Gambar1. AV Blok derajat 3 / Total AV Blok (TAVB)
Keterangan:
a. Gelombang P bisa 2 kali lebih banyak dari kompleks QRS.b. Gelombang P dan kompleks QRS membentuk pola irama sendiri-sendiri.

Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena dengan dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan alat pacu jantung permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi hemodinamik pasien. American Heart Association/ American College of Cardiology membagi indikasi pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I,II,III. Yang dimaksud kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II keadaan dimana masih terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan kelas III keadaan dimana tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu jantung pada blok AV adalah sebagai berikut:

1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan salah satu komplikasi berikut:
a. Bradikardia simtomatik.
b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang menimbulkan bradikardia simtomatik.
c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang < 40 denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala.
d. Setelah ablasi kateter AV junction.
e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi.
f. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik muskular, Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular peroneal.

2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan bradikardia simtomatik. Pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi eksternal yang digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan impuls dan/ atau transmisi menimbulkan bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati nomal pada saat istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen. Insersi biasanya dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu jantung permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan pacu jantung ventrikel. Pada kasus ini mula-mula diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x 10 mg kemudian diberikan injeksi sulfas atropin 0,5 mg-1 mg IV, total 0,04 mg/kgBB, namun tidak terjadi perbaikan sehingga pasien dipasang alat pacu jantung temporer melalui vena femoralis kanan. Pada akhirnya pasien harus membutuhkan pacu jantung permanen melalui vena subklavia dengan keadaan hemodinamik pasien yang membaik.3
Komplikasi : sinkope, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.Prognosis : tergantung penyebab, berat gejala, dan respon terapi.8
Kesimpulan :
Telah dilaporkan satu kasus yang didiagnosis dengan EKG sebagai total AV blok, menunjukkan perbaikan setelah dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.
Penanganan blok AV total ini sangat penting karena merupakan salah satu kedaruratan di bidang kardiologi.3


2.4. Hubungan Antara Gagal Jantung Dengan Infark Miokard
Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark miokardium.
Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli.
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatorik. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi aliran darah dari organ –organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi mempertahankan perfusi organ –organ vital. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung kanan, sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum jantung Starling). Pengurangan aliran darah ginjal dan laju fltrasi glomerulus akan mengakibatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan lebih meningkatkan aliran balik vena.
Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajad kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan pada gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda : dispneu, oliguria, lemah , lelah pucat, dan berat badan bertambah
2. Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
3. EKG : takikardia
4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke lobus bagian atas.
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama ( yaitu septum interventrikularis) yang terletak dalam perikardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan noreprinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan jelas merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali, dan edema perifer.9

DAFTAR PUSTAKA


1. Aesculapius, M. 2000.Infark miokard Akut. Kapita Selekta Kedokteran. 437-440
2. Alwi, Idrus,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
3. Anonimus. 2007. Patofisiologi Coronary Artery Disease. http://www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Fisiologi-Anatomi/Patofisiologi-Coronary-Artery-Disease.html
4. Boston, MA. 2006.Environ Health Perspect. bmj, 115:53-57
Davey,Patrick. At A Glance Medicine. Erlangga Medical Series. Jakarta. 2006.
Gray, Huon H,dkk. Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Erlangga Medical Series. Jakarta. 2003.
Guyton, A. C,M.D. 2002. Fisiology Kedokteran. EGC. 335-336
Panji,dr. Bradiaritmia. 2008. http://panji1102.blogspot.com/2008/06/bradiaritmia.html
Price, Sylvia Anderson,dkk. Patofisiologi. Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005.
Sitompul, Barita, dkk. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002.
Zulkhairi, Haris Hasan. Majalah Kedokteran Indonesia. http://www.jantunghipertensi.com.Desember 2002.

Gagal Jantung Pada Penderita Infark Miokard Dengan TAV

Tinjauan Kepustakaan

Gagal Jantung Pada Penderita Infark Miokard Dengan TAV
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala BPK RSU Dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh


Oleh:
Tita Menawati . L
0371150076


BAGIAN/ SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BPK RSU DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2008

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Ketika masih sedikit pemeriksaan jantung yang tersedia, definisi gagal jantung cenderung ke arah patofisiologi, lalu kemudian definisi ditempatkan pada penekanan pada gaga jantung sebagai suatu diagnosis klinis. Sementara kondisi ini memang merupakan suatu sindrom klinis, diagnosis dapat sulit ditegakkan pada tahap dini karena karena relatif tidak ada gejala.
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia ( 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut.
Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral.
Infark miokard yang mengenai endokardium sampai epikardium disebut infark transmural, namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural. Hali ini kadang-kadang belum selesai karena daerah sekitar infark masih dalam bahaya bila proses iskemia masih berlanjut.
Miokard ventrikel kiri dan kanan dapat menghasilkan curah jantung antara 5 dan 20 L/men tergantung kondisi fisiologis, dan kontraksi tergantung pada sel jantung yang sangat khusus yaitu miosit

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih normal. Dengan perkataan lain, gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (forward failure), atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.5
Angka kematian akibat gagal jantung cukup tinggi terutama pada usia lebih dari 65 tahun. Selain itu, pasien gagal jantung secara otomatis akan mendapatkan beban ekonomi yang makin tinggi seiring dengan akibat hendaya (inability) kronik yang dialaminya. Gagal jantung sebenarnya terdiri dari beberapa jenis seperti gagal jantung sistolik, gagal jantung diastolik, akut, atau kronik. Jenis tersebut dahulu lebih banyak dideteksi dengan menggunakan tes dengar, anamnesis dan pemeriksaan fisik.Seiring waktu dengan makin tingginya teknologi, pemeriksaan gagal jantung kini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu berteknologi tinggi, seperti ecocardiograph, photo thorax, EKG, dan kateter Swan Ganz, dan menilai profil klinis yakni kongesti dan perfusi yang disebut metode wet and cold (nohria).
Pencegahan
Deteksi dini jenis gagal jantung yang diderita pasien ini, menurut Daulat, berfungsi sebagai dasar penentuan penatalaksanaan atau pengobatan penyakit jantung. Karena masing-masing jenis harus ditangani dengan cara yang berbeda hingga bisa lebih efektif hasilnya. Misalnya, untuk pengobatan atau penatalaksanaan gagal jantung jenis akut yang tergolong mematikan, yang paling efektif digunakan adalah dengan pemantauan hemodinamis. Selain itu, kini penatalaksanaan gagal jantung akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kadar brain natriuretic peptide (BNP) darah yang dibutuhkan pada pasien gagal jantung.
BNP merupakan hasil produksi jaringan otot jantung yang bila ventrike kiri teregang, yang berefek positif memperbaiki gangguan hemodinamik yang bisa mengakibatkan vasodilator, meningkatkan diuresis, dan lainnya. Pada pasien gagal jantung, kadar BNP ini masih terus diperlukan, meskipun levelnya sudah normal. Karena itu, selain obat-obatan jenis inhibitor ACE, penyekat beta, diuretik, dan lainnya, juga diperlukan jenis obat penunjang yang mampu meningkatkan kadar BNP dalam tubuh. Jika obat-obatan sudah tidak lagi efektif, maka pasien memerlukan alat bantu seperti IABP (intra aortic balloon pump), biventricular pacing (RCT/resynchronization cardiac therapy), ICD (implantable cardioverter device), atau kombinasi RCT dan ICD (RCT-D).
Di beberapa negara maju, jika kondisi gagal jantung makin memburuk, maka dilakukan articificial heart atau ventricular assist device untuk membantu fungsi jantung sebelum dilakukan tranplantasi jantung, dengan memperhatikan efektivitas biaya. Upaya pencegahan gagal jantung akut ini sebenarnya sangatlah mudah. Yang terpenting adalah menjaga pola hidup sehat. Selain itu, diperlukan pemeriksaan medis secara rutin untuk mengetahui sejauh mana kondisi kesehatan tubuh Anda. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa risiko gagal jantung bisa turun sebanyak 25% dengan berhenti merokok, menjaga kolesterol seimbang, dan minum aspirin sebesar 80 mg secara rutin.1,2
Sebagai pompa jantung bekerja tidak hanya atas kemampuan sendiri, tetapi bergantung pula pada berbagai faktor , sehingga ia dapat bekerja secara optimal. Faktor- faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan / menit), beban awal ( preload) dan beban akhir (afterload).6

2.2. Infark Miokard
Infark miokard merupakan nekrosis iskemik pada miokard akibat sumbatan akut pada arteri koroner.
Insidensi : Infark miokard sangat sering terjadi; 250.000 infark miokard (MI) per
tahun di Inggris ( satu kejadian tiap 2 menit); 100.000 kematian.
Patogenesis : Infark miokard terjadi bila arteri koroner tersumbat, miokard yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami iskemik dan dalam beberapa jam terjadi nekrosis; pemulihan aliran darah dengan cepat bisa mencegah infark dan membatasi nekrosis. Penyebab yang amat sering adalah penyakit jantung koroner ateromatosa, bila plak ateromatosa koroner ( tidak selalu yang sangat mempersempit lumen arteri) mengalami erupsi atau ruptur, terjadi penyebaran plak mendadak dan trombosis pada lumen arteri koroner. Penyebab Infark Miokard yang lain jarang terjadi. Pemantauan jangka panjang adanya Infark Miokard ditentukan terutama oleh luasnya kerusakan ventrikel kiri, dan beratnya penyakit jantung koroner yang mendasari. Sebagian besar kematian pasca infark miokard disebabkan oleh gagal jantung, serangan jantung mendadak, atau infark miokard lanjutan.5
Adapun manisfestasi klinis dari infark miokard adalah nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan menetap(lebih dari 30 menit), tidak sepenuhnya menghilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat menakutkan pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (bila disertai gagal jantung kongestif). Distensi vena jugularis umumnya terdapat pada infark ventrikel kanan.7
Jika aliran darah miokardium terganggu secara nyata maka akan terjadi kematian (infark) pada miokardium. Infark miokardium dapat berupa:
1. Infark subendokardial. Adalah infark yang tidak meliputi seluruh lapisan dinding jantung.
2. Infark transmural. Adalah infark miokardium yang meliputi seluruh ketebalan dinding ventrikel. Infark transmural lebih berat dibanding infark subendokardial. Infark transmural selalu berasala dari adanya peningkatan penyempitan atau oklusi total pembuluh arteri yang memperdarahi area tersebut atau peningkatan tiba-tiba kebutuhan oksigen miokardium pada arteri yang sebelumnya sangat stenostik. Sebagian besar infark miokardium transmural bersifat tidak homogen; tidak seluruh otot di area tersebut mati, tetapi masih terdapat pulau-pulau otot hidup dalam beberapa ukuran dan jumlah.
Proses sebenarnya dari infark miokard tidak sederhana. Dari percobaan dengan binatang; diketahui bahwa sel otot jantung akan mati dalam waktu 20-60 menit setelah oklusi total arteri koroner. Akan tetapi terdapat proses reperfusi yang segera terjadi 3-4 menit pasca oklusi total arteri terutama pada perbatasan daerah iskemik dan non-iskemik. Proses reperfusi ini menguntungkan oleh karena segera mengurangi dan melokalisasi area infark, serta menurunkan angka kematian. Di samping itu, reperfusi juga berdampak instabilitas elektrik, edema, atau hemorrahage, yang justru memperburuk keadaan secara umum.
Proses penyembuhan jaringan nekrotik dari area miokardium akan menimbulkan jaringan parut. Sebagian besar jaringan parut ini terdiri dari jaringan fibrotik dan sel-sel miokardium yang viabel dalam komposisi berbeda-beda. Hal ini terbukti dari adanya perubahan kontraktilitas area tersebut setelah dilakukan tindakan revaskularisasi. Bila area jaringan parut hanya terdiri dari jaringan ikat saja, maka daerah tersebut akan menipis, akinetik, dan aneurismatik.
Faktor yang mempengaruhi infark miokardium: adanya oklusi total atau subtotal, dan ada tidaknya peredaran kolateral ke daerah iskemia. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kematian (mortalitas) pasca infark:
Luas dan beratnya infark.
Makin banyaknya sistem koroner yang terlibat (1/2/3 vessels)
Riwayat infark sebelumnya.
Terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk terkena AMI, yaitu faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan tidak bisa dimodifikasi:


A. Fakor resiko yang dapat dimodifikasi:
1) Merokok. Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain: menimbulkan aterosklerosis; peningkatan trombogenessis dan vasokontriksi; peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan resiko 2-3 kali dibanding yang tidak merokok,
2) Konsumsi Alkohol. Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alcohol dosis rendah hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya masih controversial.
3) Hipertensi Sistemik. Ini menyebabkan meningkatnya after load yang secara tidak langsung akan meninggikan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen jantung,
4) Penyakit Diabetes. Resiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar 2- 4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan trombogenesis).

B. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi:

1) Usia. Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnnya setelah menopause).
2) Jenis Kelamin. Morbiditas akibat penyakit jantung koroner(PJK)pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protective pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause,
3) Riwayat Keluarga.Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelum usia 70 tahun merupakan factor resiko independent untuk terjadinya PJK.4

Penyebab kematian pasca infark terutama oleh karena gagal jantung akut atau sub-akut, yang seringkali diinduksi oleh adanya aritmia ventrikel. Gagal jantung kronik merupakan penyebab kematian lain dalam frekuensi yang jauh lebih sedikit yang terutama disebabkan oleh luasnya jaringan parut pada jantung. Sekitar 20% pasien CAD mengalami sudden death yang kemungkinan besar disebabkan oleh infark akut yang diikuti oleh fibrilasi atau asistol.3



2.3. Total AV Blok
Total AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan penanganan segera. Blok AV derajat III terjadi jika tidak ada impuls atrium yang dihantarkan ke ventrikel berdenyut sendiri-sendiri (terdapat disosiasi atrioventrikel). Atrium berdenyut teratur mengikuti impuls yang berasal dari simpuls SA. Ventrikel juga berdenyut dengan teratur namun frekuensinya jauh lebih lambat dibandingkan atrium ( 20-60 x/ menit).
Blok biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi total AV blok dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR yang bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total sering diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel. Jika terjadi distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan kecepatan ventrikel biasanya > 50x/ menit.
Makna klinis dan prognosis blok AV bergantung pada penyebabnya. Blok AV akibat peningkatan rangsang vagus atau pada keracunan digitalis yang ditangani dengan baik, mempunyai prognosis yang cukup baik. Namun bila ditemukan perubahan mendadak dari irama sinus menjadi blok AV total (sindrom Adam-Stokes), prognosisnya menjadi serius, karena dapat mendatangkan kematian akibat henti jantung mendadak atau fibrilasi ventrikel.
Etiologi total AV blok selain kongenital bisa juga didapat. Kelainan-kelainan tersebut adalah : penyakit degeneratif sistem penghantaran (Lev's disease, Lenegre' disease), iskemi atau infark miokard, kardiomiopati dilatasi, keracunan obat karena digitalis, quinidin, fenotiazin, anti depresi trisiklik, penyakit katup jantung khususnya stenosis aorta dan insufisiensi aorta, kelainan miokard dan jaringan ikat (sarkodiosis, skeloderma, amiloidosis, SLE, penyakit tiroid) pembedahan, hiperkalemia dan diikuti anti aritmia, tumor jantung (baik primer maupun sekunder),dan Chagas'disease.
Diagnosis total AV blok biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Pada EKG dapat dijumpai frekuensi gelombang P tidak sama dengan kompleks QRS, bentuk kompleks QRS dapat normal (picu sekunder di AV junction) atau menyerupai bentuk denyut ektopik ventrikel (picu sekunder pada dinding ventrikel). Gelombang P sinus dan banyak , sementara kompleks QRS hanya ada beberapa. Adanya disosiasi AV dimana tidak adanya hubungan gelombang P dan kompleks QRS. Interval RR masih teratur. Irama atrial lebih cepat daripada irama ventrikel, irama ventrikel biasanya sangat lambat > 45 x/menit (pada yang kongenital 40-60x/menit). Pada kasus terlihat gambaran seperti tersebut dengan VR 31 x/ menit.11 Gambar1. AV Blok derajat 3 / Total AV Blok (TAVB)
Keterangan:
a. Gelombang P bisa 2 kali lebih banyak dari kompleks QRS.b. Gelombang P dan kompleks QRS membentuk pola irama sendiri-sendiri.

Penatalaksanaan total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu jantung. Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena dengan dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan alat pacu jantung permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi hemodinamik pasien. American Heart Association/ American College of Cardiology membagi indikasi pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I,II,III. Yang dimaksud kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II keadaan dimana masih terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan kelas III keadaan dimana tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk indikasi kelas I pemasangan pacu jantung pada blok AV adalah sebagai berikut:

1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan salah satu komplikasi berikut:
a. Bradikardia simtomatik.
b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang menimbulkan bradikardia simtomatik.
c. Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang hilang < 40 denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala.
d. Setelah ablasi kateter AV junction.
e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi.
f. Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik muskular, Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular peroneal.

2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau letak blok dengan bradikardia simtomatik. Pemasangan pacu jantung sebagai sumber energi eksternal yang digunakan untuk menstimuli jantung jika gangguan pembentukan impuls dan/ atau transmisi menimbulkan bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung mengembalikan hemodinamik ke tingkat normal atau mendekati nomal pada saat istirahat dan aktivitas. Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk memberikan stabilisasi segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen. Insersi biasanya dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu jantung permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan pacu jantung ventrikel. Pada kasus ini mula-mula diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x 10 mg kemudian diberikan injeksi sulfas atropin 0,5 mg-1 mg IV, total 0,04 mg/kgBB, namun tidak terjadi perbaikan sehingga pasien dipasang alat pacu jantung temporer melalui vena femoralis kanan. Pada akhirnya pasien harus membutuhkan pacu jantung permanen melalui vena subklavia dengan keadaan hemodinamik pasien yang membaik.3
Komplikasi : sinkope, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.Prognosis : tergantung penyebab, berat gejala, dan respon terapi.8
Kesimpulan :
Telah dilaporkan satu kasus yang didiagnosis dengan EKG sebagai total AV blok, menunjukkan perbaikan setelah dilakukan pemasangan pacu jantung permanen.
Penanganan blok AV total ini sangat penting karena merupakan salah satu kedaruratan di bidang kardiologi.3


2.4. Hubungan Antara Gagal Jantung Dengan Infark Miokard
Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark miokardium.
Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli.
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatorik. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi aliran darah dari organ –organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi mempertahankan perfusi organ –organ vital. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung kanan, sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum jantung Starling). Pengurangan aliran darah ginjal dan laju fltrasi glomerulus akan mengakibatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan lebih meningkatkan aliran balik vena.
Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajad kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan pada gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda : dispneu, oliguria, lemah , lelah pucat, dan berat badan bertambah
2. Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
3. EKG : takikardia
4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke lobus bagian atas.
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama ( yaitu septum interventrikularis) yang terletak dalam perikardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan noreprinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan jelas merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali, dan edema perifer.9

DAFTAR PUSTAKA


1. Aesculapius, M. 2000.Infark miokard Akut. Kapita Selekta Kedokteran. 437-440
2. Alwi, Idrus,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
3. Anonimus. 2007. Patofisiologi Coronary Artery Disease. http://www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Fisiologi-Anatomi/Patofisiologi-Coronary-Artery-Disease.html
4. Boston, MA. 2006.Environ Health Perspect. bmj, 115:53-57
Davey,Patrick. At A Glance Medicine. Erlangga Medical Series. Jakarta. 2006.
Gray, Huon H,dkk. Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Erlangga Medical Series. Jakarta. 2003.
Guyton, A. C,M.D. 2002. Fisiology Kedokteran. EGC. 335-336
Panji,dr. Bradiaritmia. 2008. http://panji1102.blogspot.com/2008/06/bradiaritmia.html
Price, Sylvia Anderson,dkk. Patofisiologi. Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005.
Sitompul, Barita, dkk. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002.
Zulkhairi, Haris Hasan. Majalah Kedokteran Indonesia. http://www.jantunghipertensi.com.Desember 2002.

Selasa, 07 Juli 2009

Sindroma Guillain-Barre (SGB)

BAB I
PENDAHULUAN


Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Parry mengatakan bahwa SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis

2.2 Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan LCS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.


2.3 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
2.4 Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a. Keganasan
b. Systemic lupus erythematosus
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella-zoster Measless
Vaccinia/smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo

Bakteri Campilobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

2.5 Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer.Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut.
2.6 Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

2.7 Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa.Masa latenWaktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.Keluhan utamaKeluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis1.KelumpuhanManifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.2.Gangguan sensibilitasParestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.3.Saraf KranialisSaraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.4.Gangguan fungsi otonomGangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.5.Kegagalan pernafasanKegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.6.PapiledemaKadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.7.Perjalanan penyakitPerjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB (3).
1.Variasi klinisDi samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :- Sindroma Miller-Fisher
- Defisit sensoris kranialis- Pandisautonomia murni- Chronic acquired demyyelinative neuropathy.
2.Pemeriksaan laboratoriumGambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :- Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat- Distal motor retensi memanjang- Hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.2.8 Diagnosa Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan
dengan keadaan lain, seperti:
Mielitis akuta
Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
Polineuropati post difteri
Botulisme


2.9 Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
1. 6 merkaptopurin (6-MP)
2. Azathioprine
3. Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Perawatan Umum dan Fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat diberikan analgetik.


2.10 Prognosis
Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Kajian yang dilakukan Seneviratne, (2000) serta Spies dan Sheikh, (2001) terhadap berbagai penelitian terdahulu menghasilkan beberapa faktor prediktor prognosis SGB.




Tabel 6. Faktor prediktor prognosis SGB yang buruk

Faktor prediktor Keterangan
1. Prediktor klinik Usia tua, didahului oleh infeksi gastrointestinal,tergantung pada ventilator,
progresivitas yang cepat,defisit motorik berat

2. Etiologi CMV dan Campylobacter jejuni

3. Marker biokimiawi Antibodi anti GM1

4. Neurofisiologi Derajat degenerasi aksonal dan CMAP rendah yang persisten

Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk, (1997) adalah :
(1) Usia > 40 tahun
(2) Amplitudo CMAP yang rendah
(3) Perlunya ventilasi mekanik.
Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998) memperlihatkan bahwa usia tua ( ≥ 60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001) menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01).


Tabel 7. Prognosis SGB dari berbagai penelitian terdahulu
Peneliti
(tahun) Tempat Metode dan subjek Gambaran prognosis Jumlah (%)
Lyu, dkk Taiwan Prospektif (median follow-up - Pulih hampir sempurna 127(87%)
(1997) 12,8bulan); 145/167follow-up - Independen 18 (13%)
lengkap

Ress, dkk Inggris Prospektif 1 tahun; Pulih hampir sempurna 49 (62%)
(1999) 79 pasien SGB Tidak sempurna 30 (38%)
- Tidak dapat lari 14 (18%)
- Berjalan dengan bantuan 7 (9%)
- Tidak dapat bangun 3 (4%)
- Meninggal dunia 6 (8%)
Kuwabara, Jepang Prospektif 6 bulan; - Pulih cepat (2 minggu) 9 (11%)
dkk (2001) 80 pasien SGB - Pulih dalam 6 bulan 65 (81%)
- Tidak dapat berjalan 6 (8%)
sendiri setelah 6 bulan









BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari serangkaian pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1. Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah salah satu kelainan poliradikulopati menyangkut demielinasi inflamasi bisa akut maupun subakut yang mengarah pada paralisis ascenden dan ditandai oleh kelemahan, parestesia, dan hiporefleksia
2. Mekanisme autoimun dipercaya bertanggung jawab pada sindrom ini.
3. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
4. Sindroma Guillain-Barre (SGB) secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia.
5. Terapi meliputi farmakoterapi dan terapi fisik,
6. Prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien.




DAFTAR PUSTAKA


Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al Peripheral neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of Neurology (27): S2-S6
Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990. Electrophysiology in Guillain-Barre Syndrome. Annals of Neurology (27): S17
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre. Medika (11); 918-922
Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre Syndrome Foundation International 2000.
Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979 influenza vaccine. The New England Med. (304); 1557-1561
Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C. Thomas Publisher.
Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher
Van der Meche et all. 1992. A randomized trial comparing intravenous globulin and plasma exchange injury Guillain-Barre Syndrome. The New England JournaL of Med. 326(April 23); 1123-1129
Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome, optimum management. Clin. Immunother. 2(2): 89-99
Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acute motor neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic and laboratory features. Brain (118); 841-847